Laman

Minggu, 17 April 2016

MAKALAH HUKUM BISNIS
PERJANJIAN-PERJANJIAN TERTENTU



Disusun Oleh  : Kelompok 5
1.      Anggun Diah Anggraini               (201410170311397)
2.      Kreshna Muhammad H.M.           (201410170311404)
3.      Nabilla Puspita Dewi                    (201410170311406)
4.      Wahyu Setiyo Raharjo N.             (201410170311409)
5.      Nindya Oktafiani P.                      (201410170311427)
6.      Ely Mastyam W.                           (201410170311433)
7.      Ika Wahyu                                    (201410170311437)


PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam karena atas limpahan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas hukum bisnis ini dengan sebaik-baiknya.
Dengan berbagai rintangan dan halangan yang datang, kami dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas hukum bisnis ini dengan tepat waktu.
Dalam pembuatan makalah hukum bisnis ini kami sampaikan terimakasih kepada Ibu Iffa Hafizah,SH.M.Hum. yang telah membimbing kami dalam menyusun makalah hukum bisnis ini.
Makalah hukum bisnis yang dibuat dengan tetesan keringat, serta perjuangan yang tidak mudah ini semoga bermanfaat bagi semua kalangan mahasiswa dan masyarakat. Kami berharap makalah ini mampu menambah pengetahuan kepada masyarakat dan mahasiswa mengenai perjanjian-perjanjian tertentu dalam jual beli, sewa menyewa, leasing, sewa beli, jual beli dengan angsuran dan franchising.


Malang, Maret 2015


Penyusun


DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..........................................................................................................  i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
C.     Tujuan............................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Maksud Perjanjian Jual Beli, Sewa Menyewa, Leasing, Sewa Beli dan Jual Beli dengan Angsuran, dan Franchising..................................................................................................... 3
B.     Perbedaan Perjanjian Sewa Beli dengan Perjanjian Jual Beli Angsuran; Leasing; Jual Beli; dan Sewa Menyewa........................................................................................................ 23
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 29


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.  Perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Dengan terpenuhinya empat syarat sahnya perjanjian, maka secara hukum adalah mengikat bagi para pihak yang membuatnya.
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian, tetapi ada juga perikatan yang lahir dari undang-undang. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Setiap perjanjian yang melahirkan suatu perikatan diantara kedua belah pihak adalah mengikat bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian, hal ini berdasarkan atas ketentuan hukum yang berlaku di dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal berbagai perjanjian contoh dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan sehari-hari antara lain seperti : jual-beli, sewa-menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam, dan franchising.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan perjanjian jual beli, sewa menyewa, leasing, sewa beli dan jual beli dengan angsuran, dan franchising?
2.      Bagaimanakah perbedaan perjanjian sewa beli dengan jual beli angsuran, leasing, jual beli dan sewa menyewa?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian perjanjian jual beli, sewa menyewa, leasing, sewa beli dan jual beli dengan angsuran, dan franchising.
2.      Untuk mengetahui perbedaan perjanjian sewa beli dengan jual beli angsuran, leasing, jual beli dan sewa menyewa.
3.      Untuk mengetahui akibat hukum jika pihak penyewa melakukan perbuatan wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa rumah yang telah lama disewanya.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Maksud Perjanjian Jual Beli, Sewa Menyewa, Leasing, Sewa Beli dan Jual Beli dengan Angsuran, dan Franchising
Ø  Jual Beli
Jual beli diatur dalam buku III KUHPerdata, bab ke lima tentang “jual beli”. Dalam pasal 1457 KUHPerdata dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu (penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain (pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Perjanjian jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang - undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa perjanjian jual beli merupakan perjanjian timbal balik sempurna, dimana kewajiban penjual merupakan hak dari pembeli dan sebaliknya kewajiban pembeli merupakan hak dari penjual. Dalam hal ini, penjual berkewajiban untuk menyerahkan suatu kebendaan serta berhak untuk menerima pembayaran, sedang pembeli berkewajiban untuk melakukan pembayaran dan berhak untuk menerima suatu kebendaan. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka tidak akan terjadi perikatan jual beli.
Perjanjian jual beli saja tidak lantas menyebabkan beralihnya hak milik atas barang dari tangan penjual ke tangan pembeli sebelum dilakukan penyerahan (levering). Pada hakekatnya perjanjian jual beli itu dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap kesepakatan kedua belah pihak mengenai barang dan harga yang ditandai dengan kata sepakat (Jual beli) dan yang kedua, tahap penyerahan (levering) benda yang menjadi obyek perjanjian, dengan tujuan untuk mengalihkan hak milik dari benda tersebut.
Hak milik beralih dengan adanya penyerahan (levering). Penyerahan adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam penguasaan dan kepunyaan si pembeli (pasal 1475). Jadi penyerahan dapat diartikan sebagai cara untuk mendapatkan hak milik karena adanya pemindahan hak milik akibat dari perjanjian jual beli. Untuk perjanjian jual beli dengan system indent penyerahan barang dilakukan dengan penyerahan kekuasaan atas barang (kendaraan dianalogikan sebagai barang bergerak) sebagaimana diatur dalam pasal 612 KUHPerdata. Biasanya, penyerahan dilakukan langsung ditempat penjual atau ditempat lain yang telah diperjanjikan sebelumnya.
Kesepakatan para pihak dalam perjanjian jual beli sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata melahirkan dua macam perjanjian, yaitu perjanjian obligatoir (perjanjian yang menimbulkan perikatan) dan perjanjian kebendaan (perjanjian untuk mengadakan, mengubah dan menghapuskan hak-hak kebendaan). Akibat pembedaan perjanjian tersebut, maka dalam perjanjian jual beli harus disertai dengan perjanjian penyerahan (levering), yaitu sebenarnya merupakan perjanjian untuk melaksanakan perjanjian jual beli.
Dari pengertian yang diberikan pasal 1457 diatas, perjanjian jual beli membebankan dua kewajiban yaitu :
1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.
Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu :
1.      Benda Bergerak. Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut.
2.      Piutang atas nama dan benda tak bertubuh. Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.
3.      Benda tidak bergerak. Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek.
Asas-Asas Perjanjian Jual Beli
Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum asas perjanjian ada lima yaitu : 
1.      Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
                 a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
                 b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
                 c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
                 d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting di dalam perjanjian karena di dalam asas ini tampak adanya ungkapan hak asasi manusia dalam membuat suatu perjanjian serta memberi peluang bagi perkembangan hukum perjanjian.
2.      Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat dilihat dalam pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat adanya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.
Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal melainkan cukup dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah pihak.
3.      Asas mengikatnya suatu perjanjian
Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya. Setiap orang yang membuat kontrak terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.
4.      Asas iktikad baik ( Goede Trouw )
Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Iktikad baik ada dua yaitu :
a.       Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.
b.      Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang.
5.      Asas Kepribadian
Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.
Syarat Sah Perjanjian Jual Beli
Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual beli dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa syarat dari sahnya perjanjian adalah :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. sepakat juga dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh karena kedua belah pihak sama-sama setuju mengenai hal-hal pokok dari suatu perjanjian yang akan diadakan.
2.      Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai dengan pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal 1330 disebutkan bahwa orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
a. Orang yang belum dewasa
b. Orang yang dibawah pengampuan
3.      Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian. Objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa barang maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu. Objek perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri atas :
a. Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
b. Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan.
c. Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek dagang tertentu.
4.      Suatu sebab yang halal
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak  dijelaskan pengertian sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas.
Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di kemudian hari.
Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian
Hak dan Kewajiban Penjual
Penjual memiliki dua kewajiban utama yaitu menyerahkan hak milik atas barang dan menanggung cacat tersembunyi.
Hak dan Kewajiban Pembeli
Pembeli berkewajiban membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Pembayaran harga dilakukan pada waktu dan tempat yang ditetapkan dalam perjanjian. Harga tersebut harus berupa uang. Meski mengenai hal ini tidak ditetapkan oleh undang-undang namun dalam istilah jual-beli sudah termaktub pengertian disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang.
Perjanjian Jual Beli Dengan Sistem Indent
Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), Indent diartikan sebagai pembelian barang dengan cara memesan dan membayar terlebih dahulu. Atas dasar pengertian tersebut, Indent dapat diartikan sebagai kondisi dimana calon pembeli menunggu barang yang dipesan, yang mana penjual sedang mengusahakan untuk mendapatkan barang tersebut. Hal ini diatikan bahwa barang yang dipesan pembeli pada saat itu belum ada dan/atau barang tersebut sudah ada tetapi belum dalam penguasaan penjual. Oleh karena itu, Indent dapat juga diartikan sebagai janji untuk terjadinya jual beli dikemudian hari.
System Indent biasanya banyak digunakan dalam perjanjian jual beli kendaraan, khususnya mobil. Sistem Indent digunakan dengan alasan jumlah barang hanya tersedia dalam stoknya terbatas, hal ini terjadi karena adanya kenaikan permintaan dari pembeli atau adanya perbedaan antara ketersediaan barang dengan permintaan pembeli. Oleh karenanya, penjual kemudian mengunakan sistem Indent untuk memudahkan proses jual beli. Tahapan dalam system Indent yaitu meliputi:
1.      Adanya kesepakatan antara pembeli dan penjual mengenai pemesanan barang (kendaraan), yang diwujudkan dalam penandatanganan formulir pemesanan barang (kendaraan) oleh kedua belah pihak (pra kontraktual).  Dalam tahap ini harga belum ditentukan (masih dalam negosiasi) dan bisa berubah sewaktu-waktu, biasanya pembeli kemudian diwajibkan untuk membayar uang panjar atau uang muka (done payment).
2.      Penandatanganan formulir janji penyerahan barang (kendaraan) oleh para pihak, formulir ini berisi janji penjual untuk menyerahkan barang (kendaraan) yang dipesan pembeli, meliputi hari, tanggal dan tempat penyerahan. Pada tahap ini harga barang (kendaraan) telah ditentukan secara pasti, sehingga baik pembeli dan penjual telah sepakat mengenai harga dan barang (lahirnya perjanjian jual beli).
3.      Barang sudah ada dibawah kekuasaan penjual dan siap untuk diserahkan kepada pembeli sesuai dengan kesepakatan. Sebelum diserahkan pembeli diharuskan melunasi kekurangan pembayaran barang (kendaraan) tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Indent dianggap sebagai tahap pra kontraktual yang nantinya akan melahirkan perjanjian jual beli, yaitu setelah para pihak tentang barang dan harga. Penggunaan sistem Indent dalam perjanjian jual beli merupakan modus baru dan belum diatur secara detil dalam KUHPerdata. Oleh karena itu, dalam pembuatan perjanjian tersebut perlu dirumuskan dengan baik agar hak dan kewajiban para pihak (penjual dan pembeli) terlindungi.
Sebab-Sebab Berakhirnya Perjanjian Jual Beli
Terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya: habisnya jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian. Selain itu KUHPerdata juga mengatur faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, diantaranya karena :
a. Pembayaran
Pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata, tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsur pembayaran.
b. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penitipan
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai dengan hal yang telah diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian.
c. Pembaharuan utang
Pembaharuan utang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab munculnya perjanjian baru menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui berakhir. Perjanjian baru bisa muncul karena berubahnya pihak dalam perjanjian.
d. Perjumpaan utang atau kompensasi
Perjumpaan utang terjadi karena kreditur dan debitur saling mengutang terhadap yang lain, sehingga utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang mereka masing-masing.

e. Pencampuran utang
Berubahnya kedudukan pihak atas suatu objek perjanjian juga dapat menyebabkan terjadinya pencampuran utang yang mengakhiri perjanjian.
f. Pembebasan utang
Pembebasan utang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditur untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar utang, sehingga dengan terbebasnya debitur dari kewajiban pemenuhan utang, maka hal yang disepakati dalam perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian dan dengan demikian berakhirlah perjanjian.
g. Musnahnya barang yang terutang
Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat perjanjian karena barang sebagai hal ( objek ) yang diperjanjikan tidak ada, sehingga berimplikasi pada berakhirnya perjanjian yang mengaturnya.
h. Kebatalan atau pembatalan
Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat mengakibatkan perjanjian berakhir misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Tata cara pembatalan yang disepakati dalam perjanjian juga dapat menjadi dasar berakhirnya perjanjian. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur perjanjian hanya dapat terjadi atas dasar kesepakatan para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata atau dengan putusan Pengadilan yang didasarkan pada Pasal 1266 KUHPerdata.
i. Berlakunya suatu syarat batal
Dalam Pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian oleh karena terpenuhinya syarat batal yang disepakati dalam perjanjian.
j. Lewatnya waktu
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu ( kadaluarsa ) perjanjian.




Ø  Sewa Menyewa
Perjanjian sewa menyewa sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak lain disanggupi pembayarannya.
Perjanjian sewa  menyewa bertujuan untuk memberikan hak pemakaian saja kepada pihak penyewa. Sedangkan benda yang disewakan tersebut bisa merupakan benda yang berstatus hak milik, hak guna usaha, hak menggunakan  hasil, hak pakai, hak sewa (sewa kedua), dan hak guna bangunan.  Pada perjanjian sewa menyewa yang dipentingkan adalah hak perorangan (personenrecht) dan bukan hak kebendaan (zakelijkrecht), mengingat sumber hak sewa adalah seperti yang telah disebutkan diatas.
Yahya Harahap menyatakan bahwa sewa menyewa (huur en verhuur) merupakan suatu persetujuan antara pihak yg menyewakan (pada umumnya pemilik barang) dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan suatu barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu.
Sewa menyewa adalah suatu penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain itu untuk memulai dan memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa oleh pemakai kepada pemilik.
ciri-ciri dari sewa menyewa adalah sebagai berikut:
a.        ada dua pihak yang saling mengikatkan diri,
Yaitu pihak pertama yang menyewakan atau pihak yang mempunyai barang dan pihak kedua atau pihak yang membutuhkan kenikmatan atas suatu barang.
b.        ada unsur pokok,
Yaitu berupa barang, harga, dan jangka waktu sewa dimana ketiganya merupakan unsur essensialia perjanjian sewa menyewa, namun harga sewa bukanlah mesti berbentuk uang, melainkan dapat juga prestasi lain, asalkan telah ditentukan sebagai pembayaran sewa.
c.        ada  kenikmatan yang diserahkan,
Kenikmatan yang dimaksud adalah kenikmatan penyewa untuk menggunakan serta menikmati hasil barang yang disewa tersebut, dengan pembayaran harga sebagai kontraprestasi bagi pihak yang menyewakan.
KUH Perdata tidak menyebutkan secara tegas mengenai bentuk perjanjian sewa menyewa, sehingga perjanjian sewa menyewa dapat dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis. Bentuk perjanjian sewa menyewa dalam praktek pada umumnya dibuat secara tertulis untuk mempermudah pembuktian hak dan kewajiban para pihak di kemudian hari, terutama pada perjanjian sewa menyewa barang yang nilainya besar dan dalam jangka waktu yang lama.
Subyek dan Obyek Perjanjian Sewa Menyewa
Subyek perjanjian sewa menyewa adalah para pihak yang membuat perjanjian, yaitu penyewa dan pihak yang menyewakan. Penyewa dan pihak yang menyewakan ini dapat berupa orang pribadi, badan hukum yang diwakili oleh orang yang berwenang, seseorang atas keadaan tertentu menggunakan kedudukan/hak orang lain tertentu, dan persoon yang dapat diganti.
Perjanjian sewa menyewa memiliki objek berupa barang, yaitu benda dalam perdagangan yang dapat ditentukan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pasal 1549 KUH Perdata ayat 2 menyebutkan bahwa semua jenis barang, baik yang tak bergerak, baik yang bergerak dapat disewakan.
Syarat Sah Perjanjian Sewa Menyewa
Syarat sah perjanjian sewa menyewa adalah sesuai dengan persyaratan sahnya perjanjian, yaitu sesuai pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Ciri Perjanjian Sewa Menyewa
Suatu perjanjian sewa menyewa, berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan sebelumnya memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dari perjanjian lain. Ciri-ciri perjanjian sewa menyewa yaitu:
a. ada dua pihak yang mengikatkan diri,
pihak yang pertama adalah pihak yang menyewakan yaitu pihak yang mempuyai barang. Pihak yang kedua adalah pihak penyewa, yaitu pihak yang membutuhkan kenikmatan atas suatu barang. Para pihak dalam perjanjian sewa menyewa dapat bertindak untuk diri sendiri atau kepentingan badan hukum tertentu
b. ada unsur pokok yaitu barang, harga, dan jangka waktu sewa,
barang adalah harta kekayaan yang berupa benda material, baik bergerak maupun tidak bergerak. Benda yang dimaksud disini adalah benda yang letaknya terdapat dalam hukum kebendaaan. Pasal 499 KUH perdata menyatakan bahwa barang adalah tiap benda atau tiap hak yang dapat dijadikan objek dari hak milik. Perjanjian sewa menyewa menjadikan barang yang merupakan objek sewa menyewa bukan dengan tujuan dimiliki, melainkan hanya dinikmati.
Harga dalam perjanjian sewa menyewa adalah biaya sewa yang berupa sebagai imbalan atas pemakaian benda sewa. Perjanjian sewa menyewa tidak mensyaratkan  pembayaran harus berupa uang tetapi dapat juga menggunakan barang ataupun jasa. Hak untuk menikmati barang yang diserahkan kepada penyewanya terbatas pada jangka waktu yang ditentukan didalam perjanjian. Setelah jangka waktu sewa menyewa berakhir, maka barang yang disewakan dikembalikan kepada pemiliknya. Apabila jangka waktu perjanjian sewa menyewa berakhir, para pihak dapat memperpanjang masa sewa dengan kesepakatan atas waktu, harga dan barang.
c. ada  kenikmatan yang diserahkan,
Kenikmatan yang dimaksud adalah kenikmatan penyewa untuk menggunakan serta menikmati hasil barang yang disewa tersebut, dengan pembayaran harga sebagai kontraprestasi bagi pihak yang menyewakan. Penikmatan ini terjadi tanpa peralihan hak milik sebagaimana yang terjadi dalam perjanjian jual beli. Sewa menyewa memberikan penikmatan kepada penyewa dengan hak milik atas benda yang disewakan tetap di tangan pemilik/pihak yang menyewakan.
Hak dan Kewajiban Para Pihak
Pasal 1550 KUH Perdata menyebutkan bahwa terdapat 3 kewajiban pihak yang menyewakan, yaitu:
a. menyerahkan barang yang disewakan kepada pihak penyewa,
b. memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud, dan
c. memberikan kepada penyewa kenikmatan yang tentram dari barang yang disewakan selama berlangsung perjanjian.
Pihak yang menyewakan haruslah menyerahkan barang yang disewakan kepada pihak penyewa dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Penyerahan dalam perjanjian sewa menyewa adalah penyerahan yang dilakukan secara nyata dan tidak diperlukan penyewaan secara yuridis. Sesuai dengan kedudukan penyewa atas barang yang disewa, maka dengan penyerahan barang dibawah penguasaan penyewa sudah terjadi penyerahan.
Pasal 1560 menyebutkan 2 kewajiban utama pihak penyewa, yaitu:
a. Memakai barang yang disewakan sebagai seorang bapak rumah yang baik (goed huis vader) sehingga seolah-olah milik sendiri.
 b. Membayar uang sewa pada waktu-waktu yang telah ditetapkan.
Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa
Berakhirnya perjanjian sewa menyewa pada dasarnya sesuai dengan berakhirnya perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata. Secara khusus, perjanjian sewa menyewa dapat berakhir karena dua hal, yaitu:
                a. Masa sewa berakhir,
Berakhirnya masa sewa yang tidak dilakukan perpanjangan membuat perjanjian sewa menyewa berakhir demi hukum, tanpa perlu adanya penetapan dari pengadilan. Pasal 1570 KUH Perdata menyatakan apabila perjanjian ini dibuat secara tertulis, maka perjanjian sewa menyewa ini berakhir demi hukum tanpa diperlukannya suatu pemberhentian untuk itu. Sedangkan menurut pasal 1571 KUH Perdata, apabila perjanjian sewa menyewa dibuat secara lisan, maka sewa tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan memperhatikan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.
                b. Terpenuhinya syarat tertentu dalam perjanjian sewa menyewa,
Suatu perjanjian sewa menyewa pada umumnya dapat mencantumkan syarat batal maupun syarat tangguh terhadap perjanjiannya apabila dipenuhi suatu syarat yang diperjanjikan tersebut.
Pasal 1575 KUH perdata menentukan bahwa perjanjian sewa menyewa tidak berakhir karena ada salah satu pihak yang meninggal dunia, baik penyewa, maupun pihak yang menyewakan. Seluruh kewajiban dan haknya diteruskan kepada ahli warisnya. Selain itu, perjanjian sewa menyewa juga tidak dapat diputus apabila barang yang disewakan beralih hak kepemilikannya melalui jual beli, kecuali jika telah ditentukan sebelumnya dalam perjanjian tersebut.



Ø  Leasing
Sewa guna usaha (Leasing) adalah pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang–barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang–barang modal tersebut, dan dapat dibeli atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa. Ada pula pengertian Leasing menurut Prof.R.Subekti, S.H. di dalam bukunya `Aneka Perjanjian` Adalah tidak lain dari pada perjanjian sewa–menyewa yang telah berkembang di kalangan para pengusaha, dimana ”lessor” menyewakan suatu perangkat alat perusahaan (mesin–mesin) termasuk service, pemeliharaan dan lain–lain kepada ”lessee” untuk suatu jangka waktu tertentu.
Leasing berasal dari bahasa inggris, yaitu lease yang dalam pengertian umum mengandung arti menyewakan. Pada hakikatnya leasing bukanlah seperti apa yang dimaksud dengan ren/ rental. Leasing bukanlah merupakan perjajian sewa menyewa biasa. Antara leasing dan sewa menyewa memiliki kontruksi yang sama. Pihak yang satu yaitu lessee menggunakan barang kepunyaan lessor yang disertai pembayaran berkala. Leasing menyangkut subjek dan objek dari perjanjian adalah tertentu. Sedangkan dalam perjanjian sewa menyewa tidak demikian, subjek dan objeknya tidak ditentukan, subjek dapat perorangan atau perusahaan. Subjek dalam perjanjian leasing syarat- syaratnya ditentukan dalam suatu peraturan dan mengenai objeknya adalah suatu barang modal bagi perusahaan.
Unsur-unsur Perjanjian Leasing
·         Pembiayaan perusahaan
·         Penyediaan barang – barang modal
·         Jangka waktu tertentu
·         Pembayaran secara berkala
·         Adanya hak pilih (opsi)
·         Adanya nilai sisa yang disepakati bersama
Dasar Hukum Leasing
Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian No. Kep. 122/MK/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974 dan No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang “Perijinan Usaha leasing”. Untuk mendukung perkembangan usaha ini Menteri Keuangan selanjutnya mengeluarkan SK No 650/MK/IV/5/1974 tanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea meterai terhadap usaha leasing. Ketentuan minimum modal disetor untuk pendirian suatu perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha leasing diatur  dalam Pakdes 20, 1988 dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988  tanggal 20 Desember 1988, dengan jumlah modal disetor atau simpanan wajib dan pokok ditetapkan sebagai berikut:  
*        Perusahaan swasta nasional sebesar Rp. 3 milyar
*        Perusahaan patungan Indonesia- asing sebesar Rp. 10 milyar
*        Koperasi sebesar Rp. 3 milyar.
Pihak-pihak yang Terlibat
·         Lessor
·         Lesse
·         Supplier
·         Bank/kreditor
·         Asuransi
Proses Mekanisme Transaksi Leasing
1.         Lessee menghubungi supplier untuk pemilihan dan penentuan jasa barang, spesifikasi, harga, jangka waktu pengiriman, jaminan purnajual atas barang yang akan di-lease.
2.         Lesee melakukan negosiasi dengan lessor mengenai kebutuhan pembiayaan barang modal. Pada tahap awal ini, lessee dapat meminta lease quotation yang tidak mengikat dari lessor. Dalam lease quotation ini dimuat mengenai syarat-syarat pokok pembiayaan leasing antara lain: keterangan barang, harga barang, cash security deposit, residual value, asuransi, biaya administrasi, jaminan uang sewa dan persyaratan-persyaratan lainnya.
3.         Lessor mengirimkan letter of offer atau commitment letter kepada lessee yang berisi syarat-syarat pokok persetujuan lessor untuk membiayai barang modal yang dibutuhkan lessee tersebut. Apabila lessee menyetujui semua ketentuan dan persyaratan dalam letter of offer, kemudian lessee menandatangani dan mengembalikannya kepada lessor.
4.         Penandatangan kontrak leasing setelah semua persyaratan dipenuhi lessee. Kontrak leasing tersebut sekurang-kurangnya mencakup hal-hal antara lain: pihak-pihak yang terlibat, hak milik, jangka waktu, jasa leasing, opsi bagi lessee, penutupan asuransi, tanggung jawab atas objek leasing, perpajakan, jadwal pembayaran angsuran sewa dan sebagainya.
5.         Pengiriman order beli kepada supplier disertai instruksi pengiriman barang kepada lessee sesuai dengan tipe dan spesifikasi barang yang telah disetujui.
6.         Pengiriman barang dan pengecekan barang oleh lessee sesuai pesanan. Selanjutnya lessee menandatangani surat tanda terima dan perintah bayar dan diserahkan kepada supplier.
7.         Penyerahan dokumen oleh supplier kepada lessor termaasuk faktur dan bukti-bukti kepemilikan barang lainnya.
8.         Pembayaran oleh lessor kepada supplier.
9.         Pembayaran angsuran (lease payment) secara berkala oleh lessee kepada lessor    selama masa sewa guna usaha yang seluruhnya mencakup pengembalian jumlah yang dibiayai serta bunganya.

Ø  Sewa Beli dan Jual Beli dengan Angsuran
Dalam perjanjian sewa beli dan jual beli secara angsuran:
a.       Harga pembelian barang sebagian kadang-kadang dibayar oleh pembeli. Jadi penjual tidak membiayai seluruh harga beli barang yang bersngkutan.
b.      Jangka waktu tidak memperhatikan baik pada perkiraan umur kegunaan barang maupun kemampuan pembeli mengangsur harga barang.
c.       Pada akhir masa perjanjian, hak milik atas barang dengan sendirinya beralih pada pembeli. Hak milik atas barang beralih dari penjual pada saat barang diserahkan oleh penjual.

Ø  Franchising
Franchise berasal dari bahasa prancis yaitu  franchir  yang mempunyai arti memberi kebebasan bagi para pihak. Menurut Peter Mahmud pengertian franchise adalah suatu perjanjian yang memberikan hak kepada pihak lain untuk menggunakan nama dan prosedur yang dimiliki oleh yang mempunyai hak tersebut. Lain halnya dengan black law dictionary, franchise diartikan sebagai lisensi atau izin dari pemilik suatu mereka tau nama dagang kepada pihak lain untuk menjual produk atau jasa dibawah mereka tau nama dagangnya (black’s law dictionary, 1975:592)
Dilihat dari ruang lingkup dan konsepnya, sebenarnya perjanian franchise berada diantara perjanjian lisensi dan distributor. Adanya pemberian izin oleh pemegang hak milik intelektual kepada pihak lain untuk menggunakan merk ataupun prosedur tertentu merupakan unsur perjanjian lisensi. Sedangkan dilain pihak juga adanya quality control dari franchisor terhadap produk-produk pemegang lisensi yang harus sama dengan produk-produk lisensor, seakan-akan pemegang franchise merupakan distributor franchisor.
Sebagaimana dalam perjanjian lisensi, pada perjanjian franchise, pemegang franchise wajib membayar sejumlah royalty untuk penggunaan merek dagang dan proses pembuatan produk yang besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian. Royalty kadang-kadang bukan ditetapkan berdasarkan persentase keuntungan tapi  beberapa unit. Dalam hal demikian pihak franchisor tidak peduli apakah pemegang franchise untung atau tidak. Disamping harus membayar royalty, pihak pemegang franchise juga sering harus memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh franchisor untuk mendesain perusahaan sedemikian rupa sehingga mirip dengan desain perusahaan franchisor. Begitupula dengan menajemennya, tidak jarang franchisor juga memberikan assistensi dalam manajemen.
Dalam hal demikian pemegang franchise perlu membayar fee tersendiri kepada assistansi tersebut. Tidak jarang pula franchisor dalam pembuatan produknya mewajibkan pemegang frnchise untuk membeli bahan-bahan dari pemasok yang ditunjuk oleh franchisor. Hal tersebut dalam hukum kontrak disebut tying agreement. Bahkan kadang-kadang pemegang franchise berdasarkan perjanjian membolehkan franchisor melakukan auditing terhadap keuangan pemegang franchise. Semua ini diwajibkan oleh franchisor dengan alasan quality control. Namun dilain pihak melalui perjanjian lisensi maupun franchise diharapkan terjalinnya alih teknologi antara franchisor terhadap franchisee.
Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Tentang Franchise
Walupun bisnis franchise telah berkembang di indonesia, namun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu secara khusus belum ada. Peraturan perundang-undangan yang memiliki hubungaan dengan franchise adalah sebagai berikut:
  1. Pasal 1338 KUH Perdata dan pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1338 KUH Perdata menganut sistem terbuka, maksudnya setiap orang atau badan hukum diberikan kebebasan untuk menentukan perjanjian baik yang sudah dikenal didalam KUH Perdata. Disamping itu, yang menjadi dasar hukum dalam pengembangan franchise di indonesia adalah pasal 1320 KUH Perdata, pasal 1320 KUH Perdata mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, yaitu kesepakatan kedua belah pihak, cakap untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek tertentu dan adanya kausa yang halal.
  2. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba. Peraturan pemerintah ini terdiri atas 11 pasal. Hal-hal yang diatur dalam peraturan pemerintah ini meliputi pengertian waralaba, para pihak dalam perjanjian waralaba, keterangan-keterangan yang harus disampaikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba dan bentuk perjanjiannya.
  3. Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pelaksanaan Usaha Waralaba. Keputusan Mentri ini terdiri atas 8 bab dan 26 pasal. Hal-hal yang diatur dalam keputusan mentri ini meliputi: pengertian umum, bentuk perjanjiannya, kewajiban pendaftaran, dan kewenanangan penerbitan surat tanda pendaftaran usaha waralaba, persyaratan waralaba, pelaporan, sanksi, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
  4. Keputusan Mentri Perdagangan Nomor: 376/ Kep/XI/ 1998 Tentang Kegiatan Perdagangan. Keputusan menteri perdagangan ini telah memungkinkan perusahaan asing dalam status penanaman modal asing dapat melakukan penjualan hasi lproduksinya didalam negeri sampai pada tingkat pengecer dengan mendirikan perusahaan patungan antara perusahaan asing di bidang produksi tersebut dengan perusahaan nasional sebagai penyalur. Dengan keputusan tersebut franchisor yang memproduksi barang dapat melakukan hubungan langsung dengan pengecernya, para pengecer tersebut adalah para franchisee.
Subjek dan Objek Perjanjian Franchise
Yang menjadi subjek hukum dalam perjanjian franchise adalah franchisor dan franchisee, franchisor adalah perusahaan yang memberikan lisensi, bai kberupa paten, merek perdagangan, merek jasa, maupun lain-lainya kepada franchisee. Sedangkan franchisee adalah perusahaan yang menerima lisensi dari franchisor. Disamping itu ada dua pihak lainnya dalam perjanjian franchisee yang terkena dampak dalam perjanjian ini adalah sebgai berikut:
  1. Franchisee lain dalam sistem franchise yang sama
  2. Konsumen atau klien dari franchise maupun masyarakat pada umumnya.
Objek dalam perjanjian franchise adalah lisensi. Lisensi adalah izin yang diberikan franchisor kepada franchisee. Ada dua kriteria lisensi sebagaimana yang disampaikan oleh dieter plaff yaitu 1) tujuan ekonomis dan 2) acuan yuridis. Tujuan ekonomis adalah apa yang hendak dicapai oleh lisensi itu sedangkan acuan hukum yaitu instrumen hukum yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Hak Dan Kewajiban Antara Franchisor Dengan Franchisee
Perjanjian yang dibuat oleh pihak franchisor dan franchisee berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak. Sejak penandatanganan kontrak antara kedua belah pihak akan menimbulkan hak dan kewajiban. Kewajiban dari pihak franchisor adalah menyerahkan lisensi kepada franchisee. Sedangkan yang menjadi haknya adalah sebagai berikut:
- Logo merek dagang, nama dagang, dan nama baik yang terkait dengan merek dan atau nama tersebut.
- Format/ pola usaha yaitu sistem usaha yang terekam dalam bentuk buku pegangan yang sebagian isinya dalam rahasia usaha.
- Dalam kasus tertentu berhak mendapatkan rumus, resep, desain dan program khusus.
- Hak cipta atas sebagian dari hal diatas bisa dalam bentuk tertulis dan terlindungi dalam undang-undang hak cipta.
Hak franchisee adalah menerima lisensi, sedangkan kewajibannya adalah membayar royalti kepada franchisor dan menjaga kualitas barang dan jasa yang difranchise.
Bentuk Dan Substansi Perjanjian Franchise
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba dan Pasal 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba telah ditentukan bentuk franchise atau perjanjian waralaba yaitu bentuknya tertulis. Perjanjian ini dibuat dalam Bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku Hukum Indonesia. Sebelum membuat perjanjian tertulis tersebut frenchisor atau pemberi waralaba wajib menyampaikan keterangan tertulis secara benar kepada frenchisee atau penerima waralaba, mengenai hal-hal berikut:
  1. Identitas pemberi waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya termasuk neraca dan daftar rugi laba selama-lamanya dua tahun terakhir
  2. Hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi objek waralaba
  3. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima waralaba
  4. Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba
  5. Hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba
  6. Cara-cara dan syarat pengakhiran, pemutusan dan perjanjian waralaba.
  7. Hal-hal lain yang perlu diketahui oleh penerima waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian waralaba (pasal 5 keputusan menteri perindustrian dan perdagangan nomor: 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pendaftaran usaha waralaba)
Disamping itu, penerima waralaba utama wajib memberitahukan secara tertulis dokumen autentik kepada penerima waralaba lanjutan bahwa penerima waralaba utama memiliki hak atau izin membuat perjanjian waralaba lanjutan dari pemberi waralaba.
Dalam Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 259/ MPP/ Kep/ 7/ 1997 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, telah ditentukan hal-hal yang harus dimuat dalam perjanjian waralaba atau frenchise sebagai berikut.
  1. Nama, alamat dan tempat kedudukan persahaan masing-masing pihak
  2. Nama dan jabatan masing-masing pihak yang berwenang menandatangani perjanjian.
  3. Nama dan jenis hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba.
  4. Wilayah pemasaran
  5. Jangka waktu perjanjian dan tata cara perpanjangan perjanjian serta syarat-syarat perpanjangan perjanjian
  6. Cara penyelesaian perselisihan
  7. Ketentuan-ketentuan pokok yang disepakati yang dapat mengakibatkan pemutusan perjanjian atau berakhirnya perjanjian
  8. Ganti rugi dalam hal terjadinya pemutusan perjanjian
  9. Tata cara pembayaran imbalan
  10. Penggunaan barang atau bahan hasil olahan produksi dalam negeri yang dihasilkan atau dipasok oleh pengusaha kecil
  11. Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada penerima waralaba.
Sifat perjanjian frenchise yaitu sebagai berikut:
  1. Suatu perjanjian yang dikuatkan oleh hukum
  2. Memberi kemungkinan pewaralaba/ franchisor tetap mempunyai hak atas nama dagang dan atau merek dagang, format/ pola usaha dan hal-hal khusus yang dikembangkan untuk suksesnya usaha tersebut
  3. Memberi kemungkinan pewaralaba/ franchisor mengendalikan sistem usaha yang dilisensikannya
  4. Hak, kewajiban dan tugas masing-masing pihak dapat diterima oleh pewaralaba/ frenchisee.

Pendaftaran Dan Kewenangan Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba
Setelah perjanjian franchise ditanda tangani oleh para pihak, maka penerima waralaba wajib mendaftarkan perjanjian franchise atau waralaba beserta keterengan tertulis pada Departemen Perdagangan dan Perindustrian c.q. Pejabat yang berwenang menerbitkan surat tanda pendaftran usaha waralaba (STPUW) untuk memperoleh STPUW. Tujuan pendaftaran ini adalah untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan usaha dengan cara waralaba.
Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Franchise
Walaupun para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan jangka waktu berakhirnya perjanjian franchise, namun pemerintah melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan telah menetapkan jangka waktu perjanjian waralaba sekurang-kurangnya 5 tahun, jangka waktu itu dapat diperpanjang.





B.     Perbedaan Perjanjian Sewa Beli dengan Perjanjian Jual Beli Angsuran; Leasing; Jual Beli; dan Sewa Menyewa
a.        Perbedaan sewa beli dengan jual beli angsuran
Perjanjian Sewa-Beli
Perjanjian Jual-Beli Angsuran
Sewa beli (Hire Purchase) adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara  memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual;
Jual beli dengan angsuran adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara menerima pelunasan pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali angsuran atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian,  serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan oleh penjual kepada pembeli;
Penyerahan barang pada perjanjian beli sewa tidak menimbulkan peralihan hak milik. Hak milik baru berpindah pada waktu dibayarnya angsuran yang terakhir.

Penyerahan barang telah menimbulkan perpindahan hak milik atas barang kepada pembeli walaupun uang pembayarannya belum lunas.
Selama pembayaran harga barang belum di lunasi maka pembeli di larang untuk menjual atau mengalihkan hak atas barangnya kepada orang lain. Hal ini merupakan jaminan bahwa barang tidak akan hilang atau rusak selama di kuasai pembeli. Seandainya pembeli tidak bertanggung jawab sebagaimana mestinya atas barang tersebut, maka pembeli dapat di anggap telah melakukan tindak pidana penggelapan sebagaimana di atur dalam Pasal 372 KUHP.
Karena hak milik telah berpindah kepada pembeli sejak di lakukannya perjanjian jual beli yang disertai dengan penyerahan barang maka pembeli bebas melakukan perbuatan hukum apapun atas barang tersebut. Apabila sebelum angsuran lunas barang tersebut telah berpindah tangan atau musnah atau rusak, maka pembeli hanya dapat dituntut untuk melunasi sisa hutangnya yang berkaitan dengan sisa pembayaran sesuai dengan tanggung jawabnya.
Merupakan hasil perpaduan dari jual-beli dengan sewa menyewa. Hal ini dapat disimpulkan dari penggunaan kata “sewa” dan “beli”.
Merupakan bentuk khusus dari perjanjian jual beli biasa.

b.        Perbedaan sewa beli dengan leasing
Perjanjian Sewa-Beli
Leasing
Diatur dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/80 tentang Perizinan kegiatan usaha sewa beli (hire purchase), Jual beli dengan angsuran, dan sewa (renting)
Diatur dalam SKB Menkeu Nomor 122/MK/2/1974, Menperin Nomor 32/M/SK/1974, Mendag Nomor 30/ Kpb/1974 tentang Perijinan Usaha Leasing
Harga barang yang dijual sudah ada sejak awal perikatan.
Harga barang baru muncul setelah debitur memilih utk membeli.
Peralihan hak milik pasti terjadi setelah berakhir masa sewa
Peralihan hak milik terjadi jika lease mempergunakan hak opsi : hak untuk memilih apa ingin memiliki barang tersebut atau tidak.
Terdiri dari dua pihak :
a.    Pihak penjual atau yang menyewakan
b.    Pihak pembeli atau penyewa
Terdiri tiga pihak :
a.    Lesse
b.    Lessor
c.    Supplier
c.       Perbedaan sewa beli dengan  jual beli dan sewa menyewa
Sewa-Beli
Jual-Beli
Sewa-Menyewa
Suatu perjanjian sewa-menyewa dengan hak opsi dari si penyewa untuk membeli barang yang disewanya.
Suatu perjanjian dimana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) berjanji membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu (yang menyewakan) mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya (penyewa) kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.
Selama harga belum dibayar lunas, barang yang diserahkan hanya untuk dipakai, dinikmati, hal ini berlaku sampai dibayarnya angsuran yang terakhir.
Barang yang diserahkan untuk dimiliki.
Barang yang diserahkan tidak untuk dimiliki, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya.
Penyerahan hak milik baru akan dilakukan pada waktu dibayarnya angsuran yang terakhir. Harus kita bedakan dari jual-beli dengan cicilan.
Penyerahan bersifat menyerahkan hak milik, dengan demikian maka si pembeli seketika sudah menjadi pemilik mutlak, walaupun pembayarannya dengan menggunakan cicilan.
Penyerahan bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa, dengan demikian tidak terdapat peralihan hak milik.
Dalam menetapkan siapa yang memikul risiko atas barang diambil sebagai pedoman bahwa pada asasnya risiko itu dipikul oleh pemilik barang, yang dalam hal ini adalah pihak penjual (berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 5 februari 1951). Namun dalam praktik lazim di perjanjikan bahwa risko itu dipikul oleh si penyewa-beli.
Selama belum dilever, mengenai barang dari macam apa saja, risikonya masih harus dipikul oleh penjual, yang merupakan pemilik sampai pada saat barang itu secara yuridis diserahkan kepada pembeli.
Kerugian akibat musnahnya barang yang dipersewakan dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan.
Larangan bagi pemilik barang untuk mengambil kembali barangnya begitu saja kalau si penyewa-beli menunggak pembaya-ran, apabila sudah lebih dari sepertiga harga telah  diangsur, penun-tutan kembali itu harus lewat Hakim, sedangkan si penyewa-beli selalu boleh mengakhiri per-janjian tanpa suatu ancaman untuk mem-berikan ganti keru-gian, dan lain-lain.
Diterbitkan dari suatu janji dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barangnya yang telah dijual, dengan mengembalikan harga pembelian yang telah diterima-nya, disertai semua biaya yang dikeluarkan (si pembeli) untuk menyelengga-rakan pembelian serta penyera-hannya, begitu pula biaya-biaya yang perlu untuk pembetulan-pembetulan dan pengeluaran-pengeluaran yang menyebabkan barang yang dijual bertambah harganya.
Seorang yang sudah menyewakan barangnya misalnya untuk 5 tahun, tidak boleh menghentikan sewanya kalau waktu tersebut belum habis, dengan dalih bahwa ia ingin memakai sendiri barang yang disewakan itu. Tetapi kalau ia menyewakan barangnya tanpa ditetapkannya suatu waktu tertentu, sudah barang tentu ia berhak meng-hentikan sewa itu setiap waktu asal ia mengindahkan cara-cara dan jangka waktu yang diperlukan untuk pemberitahuan peng-akhiran sewa menurut kebiasaan setempat.




BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
          Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “ Persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama”.
          KUH Perdata membedakan 3 golongan yang tersangkut pada perjanjian, yaitu:
            a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
            b. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya
            c. Pihak ketiga
          Akibat Hukum Perjanjian yang Sah
a. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (Perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
c. Pelaksanaan Perjanjian dengan itikad baik



DAFTAR PUSTAKA

Rahayu Hartini, S. (2010). Hukum Komersial. Malang: UMM Press.


Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung : Mandar Maju, 2000)

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1979)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar